Bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat ketika marah, lalu apa yang harus kita lakukan ketika marah melanda kita?

  • Pertama, andaipun memang harus marah, maka marahlah dengan cara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yaitu, marah yang benar, tegas dan santun. InsyaAllah, marah dengan cara yang demikian akan memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang tengah dihadapi.
  • Kedua, bersikaplah tawadlu dan jangan banyak keinginan. Mengapa? Karena di saat kita banyak keinginan, maka akan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan kita akan merasakan kekecewaan yang berlanjut kepada kemarahan. Yaitu, saat keinginan-keinginan kita itu tidak terpenuhi. Bukan berarti tidak boleh memiliki keinginan. Melainkan maksudnya adalah bahwa kita harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Karena tidak setiap keinginan kita akan terwujud. Semakin ingin dihargai, dihormati, dipuji, dikagumi, dibalasbudi, akan semakin sering sakit hati dan ngambek.
  • Ketiga, ucapkanlah “`A’udzubillahi minasyaithaanirrahjiim” (Aku berlindung kepada Allah, dari godaan syaitan yang terkutuk.). Karena kemarahan itu adalah bentuk hasutan syaitan. Sulaiman Ibnu Sard RA. meriwayatkan, “Pernah dua orang yang saling mencerca satu sama lain di hadapan Rasulullah Saw.. Sementara itu, kami sedang duduk di sisi beliau. Salah seorang dari mereka menghina yang lainnya dengan diiringi kemarahan, hingga merah mukanya. Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku mengetahui suatu kalimat yang jika diucapkan olehnya (orang yang sedang marah), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah dia berkata, “A’udzubillahi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).” (HR. Bukhari dan Muslim).
  • Keempat, diamlah sejenak. Jangan bereaksi dahulu ketika amarah terasa bergejolak. Karena akhlaq itu adalah respon yang spontan. Sebagai contoh, saat kita keluar dari masjid dan kita mendapati sandal kita raib dari tempatnya, ada orang yang secara spontan langsung mengungkapkan kejengkelan dan kemarahannya bahkan dengan kata-kata yang tidak baik. Dalam contoh situasi seperti ini, maka sebaiknya sikap yang kita lakukan adalah menahan diri untuk bereaksi secara spontan. Lebih baik diam sejenak sembari berpikir, ah barangkali sandalnya tertukar. Atau, oh barangkali sandalnya sedang dipinjam sebentar oleh seseorang yang tidak sempat memohon izin karena mendesak dan tidak tahu siapa pemiliki sandal itu. Atau, oh barangkali sandalnya memang hilang berarti tanda akan punya sandal baru. Toh, tidak mungkin jika hal kehilangan itu menyebabkan dirinya jadi tidak punya sandal seumur hidupnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila di antara kalian marah maka diamlah.” Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ucapkan sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad) Suatu ketika aa diundang untuk ceramah di sebuah perusahaan. Namun, di lokasi acara itu ternyata baru ada aa, direktur perusahaan tersebut dan beberapa orang panitia saja. Sedangkan karyawan belum ada satu orang pun. Baru setengah jam kemudian mulailah berdatangan satu persatu karyawan dari perusahaan itu. Sang direktur nampaknya kurang berkenan dan kesal terhadap karyawan-karyawannya yang terlambat itu. Kemudian, sang direktur itu berbicara kepada karyawannya, “Saudara-saudara, ini pertama kali saya melihat keadaan seperti ini. Sejujurnya saya marah. Oleh karena itu saya tidak berani berbicara panjang lebar. Nanti kalau sudah reda, baru akan saya beri tindakan. Wassalamu’alaikum.” Sang direktur mengucapkan hal ini dengan nada yang rendah namun tegas dan pasti. Ini adalah contoh yang baik. Sang direktur tidak mau berkata apa-apa dalam keadaan marah karena ia takut tidak adil dan takut berlebihan. Oleh karena itu, jika kita sedang berada dalam situasi marah seperti itu, maka pilihlah sikap diam. Tahanlah amarah itu hingga reda. Jika masih membara, maka lakukanlah langkah berikutnya yaitu langkah ketiga di bawah ini.
  • Kelima, sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., apabila kita sedang dalam keadaan marah yang tidak juga bisa reda dengan sikap diam, maka apabila keadaan kita sedang berdiri, duduklah. Jika dengan duduk masih juga belum bisa reda, maka berbaringlah. Tentu saja bukan berarti harus berbaring di sembarang tempat. Maksudnya adalah, ketika amarah masih belum juga reda, carilah situasi yang lebih bisa menenangkan dan menentramkan hati. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Jika salah seorang kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka hendaklah berbaring.” (HR. Ahmad). Hal ini karena marah dalam keadaan berdiri lebih besar kemungkinannya untuk melakukan keburukan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh aman daripada duduk dan berdiri.
  • Keenam, ambillah wudhu. Air wudhu insyaAllah akan menentramkan hati yang panas dibakar amarah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari syaitan. Dan syaitan tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).