Di dalam masyarakat kita saat ini kemusyrikan sudah demikian membudaya sehingga menjelma menjadi sebuah peradaban bahkan dikalangan sebagian besar kaum muslimin seolah menjadi sebuah agama yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pemujaan kepada selain Allah oleh sebagian kaum muslimin dari berbagai lapisan dengan coraknya yang bermacam-macam sudah menjadi keharusan yang mutlak. Mulai dari jimat-jimat, amalan-amalan, rajah-rajah, pengisian-pengisian, pemujaan-pemujaan terhadap kuburan, ilmu-ilmu kekebalan dan pengasihan yang berlatar belakang dzikrullah, dunia per-jin-an, perewangan, perdukunan dan berbagai bentuk kemusyrikan lain.
Inilah sebab utama bagi datangnya musibah yang menimpa kaum Muslimin secara bertubi-tubi dan beragam bentuknya. Perpecahan, kehinaan, ketertindasan, ekonomi morat-marit, situasi politik sangat meresahkan dan berbagai madzab lain yang ditimpakan Allah kepada umat Islam, tidak lain karena mereka umumnya telah berpaling dari tauhidullah dan terperosok ke dalam pekatnya kegelapan kemusyrikan.
Sementara itu tokoh-tokoh umat Islam yang mengaku berjuang untuk beramar ma’ruf nahi mangkar banyak yang tidak peduli dengan permasalahan mendasar ini. Bahkan tidak jarang mereka justru ikut terbawa arus memasuki pusaran bid’ah syirkiyah. Sebab ternyata yang diperjuangkannya adalah kedudukan politik sehingga dasar-dasar pertimbangannya adalah logika dan dugaan-dugaan serta perasaan-perasaan politik. Agama dikesampingkan bahkan agama hanya dijadikan sebagai pembenar bagi langkah-langkah politiknya. Mereka hanya berfikir untuk kepentingan duniawi bagi dirinya dan kelompoknya saja. Tidak peduli pada nasib umat yang sedang menuju ke nereka. Karena itu, akibat yang ditimbulkannya adalah kekacauan demi kekacauan. Tidak pernah sampai pada kemaslahatan yang diangankan.
Beberapa contoh kemusyrikan dari sekian banyak kemusyrikan yang merajalela antara lain :
1. Ngalap Berkah Pada Petilasan/Kuburan Kyai atau Wali
Adalah menjadi hal yang membudaya bahkan dianggap peribadatan yang sangat afdol bahwa pada bulan-bulan atau hari-hari tertentu, misalnya bulan Mulud, menjelang Ramadhan atau bulan-bulan/hari-hari lain. Banyak orang Islam berbondong-bondong dari berbagai tempat ke petilasan-petilasan/ kuburan-kuburan kyai, orang-orang shaleh atau yang dianggap wali. Mereka datang dari tempat yang cukup jauh dengan mencurahkan tenaga fikiran dan harta. Tidak peduli berapa banyak harta yang akan terbuang untuknya. Padahal Rasulullah telah bersabda: “Janganlah kamu mengharuskan berpergian (untuk ibadah / berziarah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (musjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha (Muttafaq ‘Alaih)”.
Jadi, kecuali ketiga masjid yang disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah telah melarang umatnya untuk sengaja mengharuskan melakukan perjalanan dalam rangka peribadatan. Maka hanya dengan melakukan ziarah-ziarah ke kuburan-kuburan orang yang dianggap wall dari tempat-tempat yang jauh itu sudah merupakan pelanggaran terhadap larangan Rasulullah, di samping juga merupakan tindakan bid’ah karena Rasulullah dan para shahabatnya tidak pernah menjalankannya. Jika memang itu baik apa lagi merupakan peribadatan tentu sudah dijalankan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Sebab mereka adalah orang yang paling bersemangat mengejar kebaikan. Tidak ada satupun celah kebaikan yang ditinggalkan oleh Nabi dan para shahabatnya.
Apalagi ternyata bahwa ziarah-ziarah ke kuburan-kuburan/petilasan-petilasan para wall itu dimaksudkan untuk ngalap berkah, meminta-minta kepada orang yang telah mati dan mencari syafa’at. Jika demikian halnya, maka jelas bahwa itu adalah syirik akbar. Apabila orang tidak bertaubat dari kegiatan ini dan mati dalam keadaan demikian, maka Allah tidak akan mengampuninya, kekal di dalam neraka. Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan dosa syirik kepada-Nya, dan Allah mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. (an-Nisa’: 48) “.
Mereka mestinya menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan kaum Musyrikin jahiliyah pada masa Nabi dulu yaitu tentang apa yang dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya : “Tidakkah kamu memperhatikan Lata, Uzza dan yang ketiga adalah Manat? (an-Najm: 19-20)”.
Tiga berhala yang disembah oleh orang-orang jahiliyah dengan cara ngalap berkah, meminta-minta dan mencari syafa’at. Salah satu berhala itu yakni Lata oleh sebagian ulama diantaranya Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan Humaid dibaca Latta dengan tasydid, artinya orang yang pada saat hidupnya terkenal sebagai tukang membuat makanan dari adonan gandum yang kemudian disajikan bagi para pendatang yang berthawaf dan beribadah di Baitullah. Maka ia dianggap sebagai orang berjasa yang ketika mati lain diabadikan menjadi berhala yang bernama Lata.

2. Mencari Kesaktian Lewat Amalan-Amalan Dzikir Atau Yang Lainnya
Budaya yang menjadi trend disemua lapisan masyarakat; baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, bodoh maupun pintar, awam maupun alim, rakyat maupun aparat, “orang yang dianggap ulama” maupun Umara, adalah membekali diri dengan “ngelmu”, kesaktian dan kekebalan. Ada yang dengan cara-cara klasik kebatinan, baik dengan istilah black magic (ilmu hitam) maupun white magic (ilmu putih). Ada pula yang dengan cara-cara dzikir dan amalan-amalan yang mengandung bacaan-bacaan wirid. Cara yang terakhir ini banyak mengelabuhi umat Islam. Karena seakan-akan Islami dan tidak syirik. Padahal hakikatnya sama: Syirik.
Amalan-amalan dzikir dan wirid itu pada hakikatnya hanya sebagai rumus atau kode untuk membuka hubungan dengan alam Jin. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para Shahabatnya. Dengan demikian, penggunaan dzikir dan wirid semacam itu, di samping tidak berdasarkan tuntunan atsar, juga menyimpang dari tujuan beribadah kepada Allah. Akhirnya menjadi syirik karena dzikir tersebut digunakan untuk meminta sesuatu kepada selain Allah, hal yang hanya menjadi kewenangan Allah saja. Allah berfirman: “ Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin itu menambahkan rasa takut / dosa kepada manusia. (al-Jin: 6)”.
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata: “Maksudnya (Jin-jin itu mengatakan) kami melihat bahwa kami mempunyai kelebihan atas manusia, sebab mereka telah meminta perlindungan diri kepada kami. Maksudnya, ketika manusia melewati suatu lembah atau padang Sahara yang dianggap angker (mereka meminta perlindungan diri kepada Jin jin)”.
Seperti halnya kebiasaan orang Arab pada jaman jahiliyah, mereka meminta perlindungan diri kepada penggede jin yang mbau reksa tempat angker (yang mereka singgahi) itu supaya jin-jin di tempat tersebut tidak menimpakan kesulitan kepada mereka?”.
Ali Qari al-Hanafi juga mengatakan: “Tidak boleh meminta perlindungan kepada jin. Sesungguhnya Allah telah mencela orang-orang kafir disebabkan hal yang demikian.” Kemudian beliau membawakan ayat al-Qur’an serta keterangannya sebagai berikut: “ Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman): “Hai golongan jin, sesangguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: “Ya Rabb kami, sesangguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian yang lain, dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kamu, sedangkan kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki lain. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (al-An’am: 128)”.
Maksud kesenangan yang didapat manusia dari jin adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan manusia (yang dimintakan lewat jin), dan patuhnya jin mengikuti perintah-perintah manusia serta patuhnya jin menyampaikan berita-berita ghaib. Sedangkan kesenangan yang didapat jin dari manusia adalah pengagungan manusia terhadap jin, serta permintaan perlindungan dan ketundukan manusia kepada jin”. Imam Ibnu Qayyim mengatakan: “Siapa yang menyembelih binatang diperuntukkan bagi setan, meminta-minta kepada setan, meminta perlindungan (isti’adzah) kepada setan dan mendekatkan din (taqarub) kepada setan dengan melakukan apa yang disukai setan, berarti ini telah menyembah setan, sekalipun ia tidak membahasakan hal itu sebagai penyembahan dan hanya membahasakan bahwa setan dijadikan khadam. Tetapi sebenarnya, justeru setanlah yang menjadikannya sebagai khadam bagi setan. Akhirnya ia menjadi khadam setan dan menjadi penyembahnya. Dengan begitu, setanpun menjadi khadam yang melayani manusia. Tetapi pelayanan setan sebagai khadam bagi manusia bukan pelayanan yang bersifat penyembahan. Sebab setan tidak pernah akan tunduk kepada manusia dan tidak pernah pula akan menyembah manusia. Tidak sebagaimana halnya manusia kepada setan.”

3. Meminta Bantuan Kepada Arwah Rasul, Wali Atau Tokoh
Meminta bantuan kepada arwah Rasul, wali atau tokoh-tokoh ini bukan hanya menjadi kebiasaan dan keyakinan yang membudaya, tetapi bahkan dihidup-hidupkan sebagai kesenian budaya. Sehingga kegiatan itu betul-betul menyatu dan mendarah daging dalam jiwa dan keyakinan sebagian besar masyarakat. Dapat disaksikan dibanyak tempat adanya upacara-upacara serta kesenian-kesenian ritual yang berisi kegiatan syaithan ini. Bahkan dalam nyanyian-nyanyian dan senandungnya sering terdengar ungkapan-ungkapan seperti: “Al-madad, al-madad ya Rasul”. Artinya: “Bantuan, bantuan wahai Rasul.” Maksudnya meminta bantuan kepada Rasul yang telah wafat. Tentu ini adalah syirik akbar. Dan peringatan-peringatan maulid Nabi merupakan media yang subur untuk kegiatan-kegiatan semacam ini. Pujian-pujian kepada nabi yang disenandungkan sarat dengan isi kemusyrikan, misalnya:
“Wahai lmam para Rasul, wahai sandaranku Engkau adalah pintu Allah dan gantunganku”. Begitu pula bait-bait sesudahnya yang berisi pujian berlebihan hingga mendudukan Rasulullah seperti Tuhan. Subhanallah `amma Yusyrikun.
Kadang ada pula masyarakat yang datang ke kuburan tokoh, lalu katanya dapat berdialog dengan arwah tekoh tersebut untuk meminta bantuan. Padahal yang bersuara adalah jin (setan) dengan memyerupai suara tokoh dimaksud agar manusia terperosok dalam kekafiran.

4. Akik, Sabuk, dan Qur’an Stambul Sebagai Jimat
Ketika akik diyakini memiliki daya magis, atau telah diisi dengan amalan-amatan mantera oleh dukun (atau oleh dukun yang bernama kyai bersorban) hingga akik tersebut diyakini berkekuatan magis. Maka orang masih berkelit dengan argumen-argumen; “Bahkan number kekuatan sebenarnya adalah Allah, sedangkan akik tersebut hanya wasilah raja.” Karenanya orang beranggapan tidak syirik. Terlebih lagi yang menjadi pialang akik-akik tersebut adalah orang-orang yang dianggap ulama’ atau ahli agama. Sehingga sempurnalah selubung syubhat yang menutupi kemusyrikan tersebut.
Begitu pula sabuk yang telah diisi dengan rajah-rajah, hijib-hijib atau mantera-mantera. Pelaku atau pemiliknya adalah pelaku kemusyrikan. Dan pengisi sabuk tersebut adalah dukun yang harus dijauhi, sekalipun berkedok orang yang bersorban. Tidak berbeda pula dengan Qur’an stambul, sebuah Qur’an (yang biasanya) berukuran kecil mungil dan huruf-hurufnya tidak terbaca kecuali (barangkali) dengan kaca pembesar. Buku yang dibikin menyerupai al-Qur’an dalam ukuran terlalu kecit ini diyakini bisa menolong pemiliknya dari marabahaya. Mungkin benda yang meyerupai al-Qur’an itu sengaja dibuat oleh WALI-WALI SETAN untuk mengelabuhi manusia supaya mudah terjerumus dalam kemusyrikan. Orang akan berdalih: “Bukankah ini Qur’an? dan bukankah alQur’an merupakan obat?” Nah al-Qur’an sebagai obat disalah artikan maknanya untuk kepentingan jimat. Dan itu adalah syirik.
Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah bersabda: “ Barang siapa yang mengalungkan Tamimah, maka sesungguhnya ia telah Musyrik. (Hadits Shahih)”. Tamimah, menurut al-Mundziri artinya untaian kalung yang dipakai guna mengusir penyakit. (Keyakinan terhadap tamimah) ini adalah kejahilan dan kesesatan. Sebab tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi atau menolak apapun kecuali Allah. Berdasarkan hadits ini, memakai Tamimah atau kalung apa saja untuk tujuan perlindungan diri dari ganguan setan, ganguan roh jahat, penyembuhan penyakit atau tolak bala’, adalah termasuk syirik yang harus diberantas.
Demikianlah beberapa contah kemusyrikan yang sangat membudaya di tengah masyarakat. Masih banyak lagi contoh-contoh lain yang sangat membelenggu don mencengkaram keyakinan masyarakat antara lain:
1. Menyakini kesialan angka 13
2. Keyakinan jika menabrak kucing maka akan celaka
3. Keyakinan para sopir jika melewati jalan angker harus berpamitan terlebih dahulu kepada yang Mbau rekso tempat angker tersebut dengan membunyikan klakson.
4. Keyakinan bahwa tiap malam jum’at kliwon harus memberikan sesajian diperempatan-perempatan jalan.
5. Adat istiadat menginjak telor dan segala kegiatan yang mengiringi bagi pengantin
6. Memasang dekorasi dengan tandanan pisang pada pintu masuk halaman dalam pesta pengantin
7. Brobosan (melewati bawah) jenazah yang akan diberangkatkan ke kubur.
8. Menyakini kebenaran para dukun dan paranormal
9. Menyakini bahwa seekor kerbau dapat memberikan berkah.
10. Menyakini bahwa pusaka atau kereta keraton dapat memberikan berkah sehingga perlu dimandikan dan airnya dijadikan rebutan
11. Dan berbagai contoh kemusyrikan lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Apabila hal-hal di atas masih membelenggu keyakinan masyarakat menjadi budaya dan tidak ada upaya untuk memberantasnya, maka umat ini tidak dapat diharapkan akan keluar dari kesulitan-kesulitan dan bencana-bencana. Di dunia akan sengsara dan di akhirat akan binasa. Sebagai penutup, di bawah ini adalah kisah yang harus dijadikan sebuah ibrah:
Dari Abu Waqit al-Laitsi, ia mengatakan: Kami keluar bersama Nabi untuk berperang ke Hunain, kami waktu itu baru saja meninggalkan kekafiran (baru masuk Islam), sedangkan kaum Musyrikin naempunyai sebuah pohon Sidrah yang dijadikan tempat i’tihaf (bersemedi) mereka, dan mereka senang menggantungkan senjatasenjata mereka (supaya rnenjadi senjata sakti) pada pohon itu. Pohon itu disebut sebagai pohon yang memiliki keramat. Kemudian hami melewati pohon itu. Maka kami berkata kepada Rasulullah: “Ya Rasalullah, buatkanlah untuk kami sesuatu yang dikeramatkan sebagaimana mereka (kaum Musyrikin) mempunyai sesuatu yang dikeramatkan”. Maka Rasulullah menjawab: Allahu Akbar, ini merupakan jalan/ kebiasaan yang sudah terjadi sejak dulu kala. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah berkata seperti apa yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu (yang tersebut dalam surat al-A’raf: 138 artinya): ‘Buatkanlah untuk kami berhala sebagaimana mereka mempunyai berhala-berhala. Musa menjawab: Sesungguhnya kalian benar-benar orang yang bodoh”. Sunggah kalian benar-benar mengikuti jalan /kebiasaan orang-orang sebelum kalian.”
Kisah di atas merupakan kisah yang dapat memberikan pelajaran bagi orang-orang yang berfikir. Orang harus merasa takut terjerumus dalam kemusyrikan. Sebab orang terkadang menganggap baik terhadap sesuatu dan menyangka sebagai taqarrub kepada Allah, padahal sesuatu itu justru merupakan hal yang paling menjauhkan seseorang dari rahmat Allah, dan paling potensial mendatangkan murka Allah.
Berdasarkan kisah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa istilah atau sebutan tidak membatasi hakikat suatu masalah. Orang yang musyrik tetap musyrik walaupun ia menamakan kemusyrikannya sebagai amalan wirid. Meminta-minta kepada orang mati, menyembelih untuk orang mati, bernadzar untuk orang mati dan sebagainya tetap syirik sekalipun kegiatan-kegiatan itu diistilahkan sebagai penghormatan atau sebagai ungkapan rasa cinta kepada nabi yang telah mati. Rasulullah murka dan menganggap permintaan shahabat akan Dzatu anwath, sama dengan permintaan Bani Israil kepada Musa akan berhala. Jadi jelas yang menjadikan ukuran bukan istilahnya, tetapi hakikatnya. Begitulah, hendaknya contoh-contoh tentang kemusyrikan di alas menjadi bahan kajian, bahwa bukan hanya itu saja bentuk kemusyrikan, tetapi bisa berkembang dalam berbagai bentuk lain.
Yang jelas umat Islam harus berhati-hati dan berupaya keras untuk kembali mempelajari agamanya secara benar kemudian mengamalkannya secara benar supaya selamat dunia dan akhiratnya. Alangkah indahnya jika umat manusia hanya beribadah kepada Allah saja, tidak melakukan kemusyrikan sedikitpun, tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan peribadatan dan bersedia meninggalkan kemaksiatan sekecil apapun.